Selasa, 23 September 2008

Pilkada Dairi Antara Primordialisme, Agama dan Parpol

KabarIndonesia - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung akan diadakan di Kabupaten Dairi. Guna melanjutkan suksesi kepemimpinan menggantikan Bupati DR. MP. Tumanggor dengan pasangannya wakil Bupati Jhonny Sitohang yang masa periodesasinya akan habis.

Bagi MP. Tumanggor, periode ini merupakan periode terakhir. Dia telah memimpin selama dua periode berturut-turut. Sementara Jhonny Sitohang masih memiliki peluang untuk maju mencalonkan diri kembali periode 2008-2014. Pendaftaran bagi calon pasangan baik dari jalur partai politik maupun jalur independen telah dilaksanakan sejak tanggal 27 Juli 2008.

Diperkirakan tujuh pasang calon, diantaranya ada dua pasang calon dari jalur independen, yaitu Hot Raja Sitanggang/ Bungaran Sinaga dan FJ. Pinem/ Tumpu Capah.

Serta dari jalur Parpol ada lima pasang, yaitu Tom Sianturi/Remita Sembiring (diusung partai PDS, Patriot dan Partai Non Parlemen), Drs. Parlemen Sinaga, MM/dr. Budiman Simanjuntak, MKes (partai PDK, PSI, PIB, PKPB, Nonparlemen), KRA Jhonny Sitohang/Irwansyah Pasi, SH (Partai Golkar), Ir. Tagor Sinurat, MSc/Ir. Arson Sihombing (PDIP) dan Drs. Victor Ujung/Drs. Mardongan Sigalingging, MM (Demokrat, PBR, PNBK, PAN, Nonparlemen).

Banyaknya pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada memaksa setiap pasangan untuk tampil 'habis-habisan' menggalang kekuatan melalui pemanfaatan segala potensi yang paling mungkin diraih.

Sangat jelas kelihatan, hampir semua pasangan menempatkan faktor primordialisme kesukuan (sub-etnis dan marga) dan agama dan kekuatan partai politik pengusung lebih dikenal dengan sebutan 'perahu' sebagai sumber suara pemilih. Dengan jumlah tujuh pasang tentu persaingan semakin ketat. Fragmentasi pemilih semakin banyak.

Akibatnya timbul 'kemanjaan' politik dengan prinsip pasti dipinang oleh para pasangan yang banyak itu. Di tengah ketatnya persaingan dalam mendulang dukungan masyarakat, selain kekuatan yang dimiliki masing-masing pasangan, tingkat polpularitas, track record dan ketersediaan uang juga menjadi faktor penting untuk menyusun kekuatan pendukung, baik yang bersifat teknis, maupun non teknis.

Kepiawaian merekrut Tim Sukses dan menyusun pola kerja dengan partai sangat menentukan. Ketujuh pasangan sepertinya menunjukkan pola yang sama.

Yaitu membentuk Tim Sukses atau center yang biasanya diisi oleh orang-orang kepercayaan dan biasanya mewakili kelompok marga dan agama. Sedangkan pola hubungan antara mesin politik yang dibentuk oleh masing-masing pasangan dengan mesin politik partai sering menunjukkan ketidakharmonisan.

Saling menunjukkan pengaruh antara kedua tim ini potensial menimbulkan konflik internal sesama pendukung. Sementara itu, kecenderungan meningkatnya pragmatisme masyarakat dengan prinsip "terima uangnya, soal pilihan tunggu dulu" secara langsung mendongkrak nilai materi (uang) yang harus dikeluarkan oleh masing-masing pasangan.

Jadilah, Pilkada menjadi ajang pasar suara yang hiruk pikuknya tidak kalah dengan hari pekan di Pasar Sumbul atau Pasar Kota Sidikalang. Bedanya, komoditi yang mau dibeli oleh pasangan calon hanya satu, yaitu "suara".

Ibarat hukum permintaan (demands law), ketika permintaan tinggi, maka kesempatan menaikkan harga juga menjadi terbuka lebar. Kabupaten Dairi, secara historis merupakan wilayah domain suku Pakpak. Namun jika dilihat dari segi perbandingan jumlah penduduk (demografis), maka Dairi lebih cenderung 'didominasi' oleh suku pendatang (Toba, Simalungun, Karo, Jawa, Minang, Aceh dan China).

Sedangkan dari kepemelukan agama, maka dapat terlihat jelas didominasi oleh Agama Kristen (Protestan dan Katolik), diikuti oleh pemeluk Agama Muslim.

Sejauh pemantauan di Kabupaten Dairi pada masa persiapan menghadapi Pilkada, kondisinya masih dapat dikatakan 'under kontrol'. Namun, jika sistem pengamanan tidak disesuaikan dengan eskalasi meningkatnya suhu politik ketika mendekati hari H, maka sangat potensial menimbulkan gangguan keamanan dan bahkan chaos.

Fragmentasi masyarakat yang ada, tentu di satu sisi harus menjadi perhatian. Sebab potensi menjadi sumber konflik horizontal sungguh terbuka. Apalagi, dalam proses pesta demokrasi ini, elemen yang bertanggungjawab dalam memastikan Pilkada damai tidak sungguh-sungguh menegakkan aturan main yang ketat dan sesuai dengan segala peraturan yang berlaku. Maka kecurangan akan memiliki ruang untuk dipraktekkan.

Faktor lain yang menjadi ancaman adalah kemungkinan munculnya tindakan profakatif para petualang politik yang ingin mempraktekkan 'penghalalan segala cara', baik secara sengaja diciptakan maupun tercipta disebabkan oleh 'kerdilnya' kesadaran menerima dan memahami berbagai perbedaan yang dimiliki.

Diharapkan Pilkada dapat berlangsung damai dan menghasilkan keputusan terbaik bagi masyarakat Dairi, dengan menjaga antara primordialisme, perbedaan agama dan fair tindak-tanduk Partai Politik, tidak menabrak aturan umum, yaitu berpolitik secara fair.
Idealnya, kekuatan visi dan misi, serta catatan prestasi calonlah yang menjadi penentu. Sebab, tanpa itu, maka yang terjadi adalah 'pertandingan' politik yang menyuburkan primordialisme, perbedaan agama dan perbedaan partai politik dari masing-masing pemilih.

Ketika kondisi ideal seperti itu tidak menjadi bagian yang diperhatikan, maka prinsip memilih dengan hati nurani hanyalah sebuah dagelan politik, kehilangan makna hakiki demokrasi. Pesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Dairi menjadi suatu prasyarat yang memungkinkan pesta demokrasi ini menjadi proses pendewasaan politik masyarakat serta sebagai bagian dari dinamika kehidupan politik masyarakat yang sedang melangkah pada tahap memahami prinsip Pilkada yang 'langsung', 'umum', bebas' dan 'rahasia'.

Sebab, tanpa prinsip tersebut, maka Pilkada Kabupaten Dairi hanya akan menjadi seremonial politik yang berpeluang menjadi proses penghancuran etika dan moral politik masyarakat di masa mendatang. Selamat berdemokrasi!

sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=28&dn=20080806015528

Tidak ada komentar: